BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 12 April 2011

Legal Review Lanjutan..

Sejarah Legal Review Oleh Extra Judicial


Dalam catatan sejarah dunia, tahun 1814, 1848, dan 1972, Belanda telah mengalami perubahan konstitusi yang dilakukan oleh Staten General Parlement. Ini menandakan di tahun tersebut telah dimulainya peninjauan kembali produk keputusan (legal review) yang dilakukan oleh lembaga diluar yudisial.
Di Indonesia sendiri, sejak berdiri yakni diikrarkannya proklamasi, telah mengalami beberapa kali perubahan UUD yaitu, UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950, UUD 1945 Amandemen I tahun 1999, UUD 1945 Amandemen II tahun 2000, UUD 1945 Amandemen III tahun 2001, dan UUD 1945 Amandemen IV tahun 2002. Selain legislative review tersebut, legal review dilakukan juga lembaga eksekutif, atau eksecutive review atas beberapa Peraturan Daerah/Lokal yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, bahkan oleh Gubernur, maupun Bupati/Walikota.
Legislative Review
Periode UUD 1945
Pernyataan kemerdekaan Indonesia yang ditandai dengan proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 ialah suara rakyat Indonesia kepada dunia, bahwa bangsa Indonesia telah merdeka dan berdaulat. Inilah momen dimulainya Republik Indonesia mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Sehari kemudian, 18 Agustus, ditetapkannya UUD negara yang kemudian dikenal dengan UUD 1945.
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945, adalah Badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945 Ir.Sukarno menyampaikan gagasan tentang “Dasar Negara” yang diberi nama Pancasila. Kemudian BPUPK membentuk Panitia Kecil yang terdiri dari 8 orang untuk menyempurnakan rumusan Dasar Negara. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP, parlemean saat itu) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Nama Badan ini tanpa kata “Indonesia” karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPK untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Dalam UUD 1945, lembaga-lembaga negara yang diatur antara lain : MPR, MA, DPA, Presiden, BPK, dan DPR.
Periode Konstitusi RIS
Tahun 1949, dengan menurutkan turun naiknya gelombang Revolusi Indonesia, maka sesudah politik Belanda hendak meruntuhkan Republik Indonesia dengan menjalankan aksi militer sampai dua kali dengan besar-besaran, maka berkat kuatnya persatuan antara republik Indonesia dengan daerah-daerah de facto Belanda di luar daerah republik tercapailah persetujuan pada tanggal 22 Juli 1949 dalam Kongres Antara Indonesia di Kota Yogyakarta hendak mendirikan Republik Indonesia serikat berdasarkan Demokrasi dan Federalisme. Negara Persatuan Federal ini adalah untuk sementara dan hanyalah sekedar untuk memungkinkan membentuk suatu negara Persatuan Indonesia yang meliputi segenap Tanah Air dan Bangsa Indonesia, sedangkan pertukaran dasar federalisme menuju dasar unitarime akan dilanjutkan sebagai perubahan dalam negeri antara Indoensia dengan Indonesia, diluar campuran Belanda. (Muhammad Yamin, 1982: 39)
Pada konferensi ini ditetapkan pula, bahwa yang menjadi Presiden Federal akan dipilih oleh negara-negara bagian dan daerah bagian yang lain; begitupula dalam konferensi itu ditetapkan tentang pembentukan Mahkamah Agung, dan garis besar mengenai kewarganegaraan Indonesia. Tentang hak kemanusiaan kan dituruti Universal Declaration of Human Rights, seperti ditetapkan oleh sidang Persekutuan Bangsa-Bangsa tanggal 10 Desember 1948.
Tanggal 29 oktober 1949 ditandatanganilah Piagam Persetujuan di banda Scheveningen, sebagai tanda paraf atas Konstitusi RIS oleh Delegasi Republik Indonesia dan seluruh delegasi Permusyawaratan Federal - BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg).
Demikianlah karena situasi politik saat itu, UUD 1945 dilakukan review. Rencana Konstitusi Republik Indonesia Serikat disiapkan oleh kedua delegasi Indonesia dan pertemuan untuk Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) selama sidang-sidang Konferensi Meja Bundar. Pada Desember 1949 setelah disetujui oleh Sidang Pleno Komite Nasional Pusat dan badan-badan perwakilan dari daerah-daerah bagian lainnya. Wakil Pemerintah Republik Indonesia dan wakil-wakil Pemerintah Daerah menyetujui Konstitusi 1949 tersebut. Dengan catatan bahwa Konstitusi RIS merupakan konstitusi sementara sama halnya dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam Konstitusi RIS ini maka lembaga-lembaga negara yang ada adalah: Mahkamah Agung, Dewan Pengawas Keuangan, Menteri-Menteri, Presiden, Senat, dan DPR. Presiden dan Menteri-menteri melaksanakan fungsi eksekutif, Mahkamah Agung, fungsi Yudisial, dan Senat juga DPR melaksanakan fungsi legislatif.
Inilah untuk pertama kalinya di Indonesia, sebuah produk keputusan yang sah (legal) di lakukan review.
Periode UUDS 1950
Selanjutnya, 19 Mei 1950 tercapailah persetujuan antara RIS dan RI untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun Undang-Undang Dasar Sementara Negara kesatuan RI ialan perubahan Konstitusi RIS 1949 dan perubahan ini dibolehkan oleh Konstitusi RIS sesuai dengan pasal 190. Pasal ini berisi ketentuan bahwa Konstitusi RIS boleh diubah, apabila keputusan dapat diambil dengan pemufakatan sidang Senat dan DPR RIS, yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota sidang.
Syarat ini terpenuhi sehingga berubahalah bentuk federal dengan bentuk kesatuan. Dan kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno mengikrarkan bentuk unitaris sudah kembali meliputi seluruh Indonesia
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, atau dikenal dengan UUDS 1950, adalah konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituente hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru.
Lembaga negara yang diatur dalam UUDS 1950 adalah, Badan Konstituante, Majelis Perubahan Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dan Wakil Presiden, Menteri-Menteri, Dewan Pengawas Keuangan, dan Mahkamah Agung.
Periode berlakunya kembali UUD 1945 Juli 1959 - Maret 1966
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
  • Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
  • MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
  • Pemberotakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September PKI
Periode 1966-1998 (Orde Baru)
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni, terutama pelanggaran pasal 23 (hutang Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan pasal 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan potensi kekayaan alam kita.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara melalui sejumlah peraturan:
  • Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
  • Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
Periode UUD 1945 Amandemen
Periode 21 Mei 1998 – 19 Oktober 1999 dikenal dengan masa transisi. Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa saat itu.
Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensil.
Dalam kurun waktu 1999 - 2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
1. Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999, Perubahan Pertama UUD 1945
2. Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 17-18 Agustus 2000, Perubahan Kedua UUD 1945
3.  Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2000, Perubahan Ketiga UUD 1945.
4. Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002, Perubahan Keempat UUD 1945
Hingga perubahan keempat UUD 1945, lembaga negara yang diatur antara lain : BPK, MPR yang terdiri dari DPD dan DPR sebagai lembaga legislatif, Presiden dan Wapres sebagai lembaga eksekutif, dan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagai lembaga yudikatif. (***)

LegaL Review

(Legal Review) Hak Kepemilikan atas Suatu Ciptaan atau Hasil Karya


HAK KEPEMILIKAN ATAS SUATU CIPTAAN
ATAU
HASIL KARYA

Kutipan dari pasal 8 ayat 3 UU Hak Cipta No. 19 tahun 2002 : ” Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai Pencipta dan Pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak.”

Penjelasan dari pasal 8 ayat 3 diatas adalah : ” Yang dimaksud dengan hubungan kerja atau berdasarkan pesanan di sini adalah Ciptaan yang dibuat atas dasar hubungan kerja di lembaga swasta atau atas dasar pesanan pihak lain.”

Pasal 8 ayat 3 tersebut dapat diinterpretasikan bahwa kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua belah pihak, seorang game developer yang bekerja di satu perusahaan game development atau pun menerima game development project dari pihak lain dalam kapasitas sebagai independent developer, pada dasarnya secara otomatis si game developer tersebut adalah sebagai pencipta dan sebagai pemegang hak cipta.

Pertanyaan pertama adalah kesepakatan seperti apakah antara si pemberi project (”Client”) dengan seorang game developer (”Developer) yang dapat mengesampingkan kepemilikan otomatis seorang developer terhadap hasil karyanya? Jawabannya sederhana, yaitu diadakannya perjanjian tertulis antara seorang Client dengan seorang Developer yang dapat memindahkan hak kepemilikan ke tangan seorang Client.

“Work Made for Hire” doctrine disini biasanya akan berlaku. Bahwa pekerjaan apapun yang kita kerjakan berdasarkan pesanan orang lain adalah milik si pemesan tersebut. Dalam dunia game development, penegasan kepemilikan hak tersebut biasanya akan dinyatakan dalam suatu perjanjian tertulis antara pihak Developer dengan Client, yang menyatakan kepemilikan Client terhadap project tersebut.

Pertanyaan kedua adalah perjanjian tertulis seperti apakah yang dimaksud diatas? Sebagai berikut:
1. Confidentiality agreement;
2. Assignment of intellectual property rights agreement;
3. Non-compete agreement;
4. Non disclosure agreement;
5. Company regulation (apply for a game developer who works
for a game development company);
6. Surat keputusan Direksi (apply for a game developer who
works for a game development company);

NOTE: Contoh perjanjian diatas tidak dimaksudkan sebagai exhaustive list (mencakup semua).

Harus diperhatikan bahwa suatu perjanjian dapat dinamakan dengan nama apa saja, misalnya hanya disebut sebagai “Surat Pernyataan”. Yang harus di perhatikan adalah klausul-klausul dalam perjanjian itu tersebut yang menyatakan tentang kepemilikan hasil karya seorang game developer.

Hal-hal standar yang harus diperhatikan sebelum menandatangani perjanjian-perjanjian seperti tersebut diatas adalah:
1.Waktu yang cukup untuk menelaah isi perjanjian. Pastikan bahwa anda mendapat sedikitnya 1 hari untuk mempelajari isi perjanjian tersebut. Konsultasikan dengan orang yang mengerti hukum engenai konsekwensi dari perjanjian tersebut bagi diri anda;

2.Apabila anda mendapatkan perjanjian tersebut dalam kapasitas sebelum atau dalam periode bekerja di suatu perusahaan, pastikan HRD atau Legal counsel di perusahaan tersebut memberikan penerangan yang cukup dan apabila masih kurang jelas jangan sungkan-sungkan menanyakan lebih lanjut. Jangan pernah malas untuk mempelajari lebih dalam tentang apapun yang memerlukan bubuhan tanda tangan anda. Perasaan khawatir dianggap terlalu cerewet ataupun ketakutan tidak akan mendapatkan pekerjaan yang dinginkan harus dibuang jauh-jauh. Better not get the job, man, then to bind yourself blindly into something which could pose as an obstacle in your career life!;

3.Pastikan perjanjian tersebut ditandatangani oleh orang yang secara resmi ditunjuk oleh perusahaan atau berwenang atau dalam kapasitas legal untuk menandatangani perjanjian tersebut;

4.Pastikan anda mendapat 1 (satu) salinan asli dari tiap perjanjian yang anda tandatangani;

5.Ada beberapa bentuk perjanjian yang bisa secara otomatis mengikat anda tanpa pembubuhan tandatangan anda di perjanjian tersebut. Surat Keputusan Direksi (SKD) bisa dijadikan salah satu contohnya, dimana pada saat SKD dikeluarkan oleh managemen dan telah disosialisasikan kepada karyawan, beberapa perusahaan ada yang tetap meminta tandatangan karyawan untuk SKD tersebut namun ada juga perusahaan yang tidak meminta tandatangan karyawan untuk SKD tersebut namun SKD tersebut tetap mengikat karyawan.

Senin, 04 April 2011

Analisis Kasus Sejarah Peperangan Makassar dan Perjanjian Bongaya PART II


Kerajaan Makassar
Makassar merupakan pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini disebabkan karna letak wilayah Makassar yang strategis dan menjadi bandar penghubung antara Malaka, Jawa, dan Maluku. Lemahnya pengaruh Hindu-Buddha di kawasan ini menyebabkan nilai-nilai kebudayaan Islam yang dianut oleh masyarakat di Sulawesi Selatan menjadi ciri yang cukup menonjol dalam aspek kebudayaannya. Kerajaan Makassar mengembangkan kebudayaan yang didasarkan atas nilai-nilai Islam dan tradisi dagang. Berbeda dengan kebudayaan Mataram yang bersifat agraris, masyarakat Sulawesi Selatan memiliki tradisi merantau. Keterampilan membuat perahu phinisi merupakan salah satu aspek dari kebudayaan berlayar yang dimiliki oleh masyarakat Sulawesi Selatan.
Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1654-1660), Kerajaan Makassar mencapai puncak kejayaannya. Ia berhasil membangun Makassar menjadi kerajaan yang menguasai jalur perdagangan di wilayah Indonesia Bagian Timur. Pada masa Hasanuddin terjadi peristiwa yang sangat penting. Persaingan antara Goa-Tallo (Makassar) dengan Bone yang berlangsung cukup lama diakhiri dengan keterlibatan Belanda dalam Perang Makassar (1660-1669). Perang ini juga disulut oleh perilaku orang-orang Belanda yang menghalang-halangi pelaut Makassar membeli rempah-rempah dari Maluku dan mencoba ingin memonopoli perdagangan. Sebagai salah satu kota dan Bandar niaga di Asia Tenggara, Somba Opu memiliki setidak – tidaknya lima konsul dagang Eropa sebagai tempat perwakilan dagang Negara – Negara Eropa di kerajaan itu. Konsulat dagang yang ada di Somba Opu antara lain, Konsulat Portugis, Konsulat Denmark, Konsulat Inggris, Konsulat Spanyol dan Konsulat Belanda. Namun Konsulat Belanda menarik diri pada tahun 1661 karena perang.

Awal tahun 50an perusahaan - perusahaan ekspedisi Belanda berlomba-lomba mengirimkan armadanya untuk memperebutkan rempah Indonesia. Akibat persaingan itu adalah meningkatnya pengiriman rempah ke Eropa dan naiknya harga rempah. Untuk mengatasi persaingan dagang yang tidak sehat pada tahun 1602 perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda itu akhirnya melebur menjadi satu pada tanggal 20 Maret 1602 dengan nama Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC atau Perserikatan Maskapai Hindia Timur). Dalam lidah kita persekutuan dagang itu dikenal dengan nama Kompeni (dari kata Compagnie). Namun perwakilan dagang VOC di Somba Opu tidak terlalu berkembang karena kekurangan modal dibandingkan dengan perwakilan – perwakilan dagang Eropa lainnya. Akibatnya perwakilan dagang VOC tutup. Memang, sementara volume perdagangan antara Gowa dengan Negara – Negara Eropa lainnya berkembang sedangkan VOC malah terancam bangkrut. Pedagang rempah di Maluku yang selama ini menjadi sumber utama VOC telah segan untuk berdagang dengan VOC karena memasok harga dibawah standar Somba Opu. Akibatnya ibukota Somba Opu semakin ramai dan semarak menjadi ajang tawar – menawar perdagangan. Dan oleh sebab itu juga Somba Opu menjadi incaran utama pedagang – pedagang dari Eropa untuk mendapatkan modal yang tinggi.
Alasan bangkrutnya VOC yaitu disebabkan karena mereka lagi berperang dengan Malaka. Sejak jatuhnya kerajaan Malaka ke tangan kompeni banyak pedagang asing yang merupakan saingan kompeni membangun ,usaha di Makassar yang merupakan pusat perdagangan. Melihat kejayaan kerajaan Makassar. Kompeni berniat hendak mematikan usaha – usaha dagang yang sungguh sangat maju dan semarak itu. Kompeni tidak tahan melihat perdagangan Cengkeh hasil dari Kepulauan Maluku yang di usahakan pedagang – pedagang Spanyol, Portugis, Inggris dan bangsa lain – lain berjalan sangat pesat di Somba Opu yang merupakan sebagai pelabuhan transito.
Pada tahun 1637 terjadi peperangan antara pedagang – pedagang asing (alinasi Portugis, Inggris, Spanyol, Denmark dan Francis) dengan Belanda karena mereka menilai Belanda telah merusak tata niaga perdagangan dan menentang prinsip – prinsip Perjanjian Eropa (West Phalia) dan Perjanjian Hiderabat. Sultan Hasanuddin yang merupakan raja dari Kerajaan Makassar pada saat itu membantu aliansi Eropa melawan Belanda dalam perang. Akibatnya kompeni Belanda terdesak di beberapa wilayah di Maluku dan Selat Makassar. Bantuan Raja Sultan Hasanuddin dipandang sebagai perang terbuka oleh kompeni. Akibatnya Belanda lebih mengkonsentrasikan diri untuk merebut kota dagang Somba Opu. Terjadilah peperangan selama puluhan tahun, namun pada akhir tahun 1667 Kerajaan Makassar menyerah maka raja Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya.
Dengan adanya daerah kekuasaan Makasar yang luas tersebut, maka seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasanuddin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku. Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar meminta bantuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar. Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
a. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b. Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
c. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
d. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda. Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.
Perang Makasar (1666-1668) sebenarnya dipicu oleh perang dagang antara  Kerajaan Makasar yang menjadikan pelabuhannya bebas dikunjungi oleh kapal-kapal dari Eropa ataupun dari Asia dan Nusantara, dengan pihak VOC yang ingin memaksakan  monopoli. Pelabuhan Makasar dianggap menyaingi perniagaan VOC. Keinginan VOC  untuk mengontrol jalur  perniagaan laut, ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Dalam  kebudayaan bahari yang dimiliki oleh orang Makasar, mereka memiliki filosofi bahwa  secara umum laut adalah milik bersama, siapapun boleh melayarinya.  Permintaan VOC agar Sultan menerima monopoli perdagangan di Makasar  itolak oleh Sultan Hasanuddin. Bahkan Sultan mengatakan:
“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, telah membagi-bagi daratan di antara  umat manusia. Tetapi mengaruniakan laut untuk semuanya. Tak pernah  kedengaran larangan buat siapapun untuk mengarungi lautan.”
Jawaban ini meneguhkan  semangat orang-orang Makasar untuk melawan  tindakan yang memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol  keamanan laut dan pelabuhan dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan.  Bahkan para penguasa juga menjadi kaya karena menjadi juragan atau pemilik kapal- kapal dagang. Namun sejak kekalahan dalam Perang Makasar banyak bangsawan,  saudagar, dan pelaut Makasar yang meninggalkan kampung halamannya pergi merantau  ke seluruh kepulauan Nusantara.
Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo  yang menjadi sekutu  Kerajaan Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora  dihancurkan oleh VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke 18 antara Kerajaan Bone melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin  menambah besar jumlah penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan  Bugis generasi awal telah beradaptasi dengan baik di  lingkungan barunya. Kebanyakan  orang Bugis kemudian menetap di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya,  sementara orang Makasar di Jawa dan Madura. Sedangkan dalam jumlah kecil mereka  menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar  awalnya mengalami  kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga di Jawa Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan Trunojoyo melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada  tahun 1679. Hal yang sama juga terjadi di Banten  ketika Karaeng Bontomarannu tiba di Banten dengan 800 orang pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari SultanBanten, sampai kemudiaan ditinggalkan akibat perang antara VOC dan Banten tahun  1680.
Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan  sebagai musuh VOC dengan tidak mendukung  perlawanan penguasa setempat terhadap  VOC. Sehingga orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan  Bugis dan pengikutnya yang berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan  oleh Sultan Johor, Abd al-Jalil untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin  merebut tahta dengan bantuan Orang Laut. Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah kepulauan Riau sebagai tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para bangsawan Bugis ini kemudian membentuk kerajaan yang otonom  di  kepulauan Riau.
Pertempuran antara rakyat Makassar dengan VOC terjadi. Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi pedagang yang akan masuk maupun keluar Pelabuhan Makassar mengalami kegagalan. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666-1667, pasukan kompeni dibantu olehpasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Angakatan laut VOC, yang dipimpin oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka mendarat din Bonthain dan berhasil mendorog suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1667.
Factor penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Arung Palakka. Membantu Trunojoyo dan rakyat Banten setiap melakukan perlawanan terhadap VOC.
Dengan disahkannya perjanjian Bongaya, maka Rakyat Gowa merasa sangat dirugikan oleh karena itu perangpun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemas, sehingga menambah bala bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat pada bulan Juni 1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil merebut benteng pertahanan yang paling kuat di Somba Opu. Benteng Somba Opu diduduki Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa mempertahankannya dengan gagah berani.
Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran.
Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Arung Palakka menaklukkan hampir seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia.

Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Aru Palaka dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar ( Yang berada dalam masa peralihan) ke Kalegowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah.
Akibat lain dari perjanjian ini adalah semua hubungan dengan orang-orang Makassar di daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC, orang-orang Makassar merupakan para pengacau dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dan Makassar yang telah berjalan lama. Pada 1695, orang-orang Makassar melakukan pelarian dalam jumlah besar ke daerah Manggarai. Bahkan, perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669, setelah Kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada 1667.
Jawaban ini meneguhkan  semangat orang-orang Makasar untuk melawan  tindakan yang memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol  keamanan laut dan pelabuhan dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan.  Bahkan para penguasa juga menjadi kaya karena menjadi juragan atau pemilik kapal- kapal dagang. Namun sejak kekalahan dalam Perang Makasar banyak bangsawan,  saudagar, dan pelaut Makasar yang meninggalkan kampung halamannya pergi merantau  ke seluruh kepulauan Nusantara.

Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo  yang menjadi sekutu  Kerajaan Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora  dihancurkan oleh VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke 18 antara Kerajaan Bone melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin  menambah besar jumlah penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan  Bugis generasi awal telah beradaptasi dengan baik di  lingkungan barunya. Kebanyakan  orang Bugis kemudian menetap di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya,  sementara orang Makasar di Jawa dan Madura. Sedangkan dalam jumlah kecil mereka  menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar  awalnya mengalami  kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga di Jawa Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan Trunojoyo melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada  tahun 1679. Hal yang sama juga terjadi di Banten  ketika Karaeng Bontomarannu tiba di Banten dengan 800 orang pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari SultanBanten, sampai kemudiaan ditinggalkan akibat perang antara VOC dan Banten tahun  1680.
Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan  sebagai musuh VOC dengan tidak mendukung  perlawanan penguasa setempat terhadap  VOC. Sehingga orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan  Bugis dan pengikutnya yang berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan  oleh Sultan Johor, Abd al-Jalil untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin  merebut tahta dengan bantuan Orang Laut. Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah kepulauan Riau sebagai tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para bangsawan Bugis ini kemudian membentuk kerajaan yang otonom  di  kepulauan Riau.
Pertempuran antara rakyat Makassar dengan VOC terjadi. Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi pedagang yang akan masuk maupun keluar Pelabuhan Makassar mengalami kegagalan. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666-1667, pasukan kompeni dibantu olehpasukan Raja Bone (Arung Palakka) dan pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Angakatan laut VOC, yang dipimpin oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka mendarat din Bonthain dan berhasil mendorog suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1667.
Factor penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Arung Palakka. Membantu Trunojoyo dan rakyat Banten setiap melakukan perlawanan terhadap VOC.
Dengan disahkannya perjanjian Bongaya, maka Rakyat Gowa merasa sangat dirugikan oleh karena itu perangpun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemas, sehingga menambah bala bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat pada bulan Juni 1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil merebut benteng pertahanan yang paling kuat di Somba Opu. Benteng Somba Opu diduduki Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa mempertahankannya dengan gagah berani.
Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran.
Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Arung Palakka menaklukkan hampir seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Arung Palakka dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar ( Yang berada dalam masa peralihan) ke Kalegowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah.

Analisis Kasus Sejarah Peperangan Makassar dan Perjanjian Bongaya

BAB I
PENDAHULUAN 

1.1 Latar Belakang 

       Kita mii sendiri yg cari nah.. adami itu bahanx, tax maq sj OM GeogLe...
selamadd bekerja cess..


1.2 Rumusan Masalah

      a.  bagaimana cara menyelesaikan secepat mungkin tugas diberi oleh Dosen, sebagai sbg pengganti nilai MID TEST semester ini..
     
      b.  Bagaimana penyelesaian kasus teman yg ngambek apabila dirix merasa tertipu..






BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bagaimana cara menyelesaikan secepat mungkin tugas diberi oleh Dosen, sebagai sbg pengganti nilai MID TEST semester ini..

       Cara yang paling efisien adalah ketika kita saling berharap kepada teman yg lainx untuk mengerjakan tugas dan mem-postingx di BLOG, Lalu di edit sdikitt,, 
sim salabim...


Tugas anda dalam sekejap telah selesai...


2.2 Bagaimana penyelesaian kasus teman yg ngambek apabila dirix merasa tertipu..


       Minta Maaf adalah cara yang palingg ampuh, ketika anda mendapati teman yg ngambek karna merasa tertipu dgn ke-JAILan yg diharapkan mampu menyelesaikan tugas lalu di Posting ke bLog, tetapi malah kekecewaan yg didapatkanx...









BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
       
       Inti dari tugas ini adalah bagaimana memompa semangadd teman2 utk mengerjakan sendiri tugas yg diberikan oleh dosenx...

Sekian dan Terima Kasih...

     Intix just Kidding jie pren..
heheheehehee...
Intermezzo..

3.2 Saran-Saran

Minggu, 03 April 2011

Lembaga Penyelesaian Sengketa Publik (OMBUDSMAN)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.      Latar Belakang
Pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik, Penyelenggara pelayanan publik atau Penyelenggara merupakan setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Undang-Undang Pelayanan Publik (secara resmi bernama Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik) adalah undang-undang yang mengatur tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri. perlayanan publik yang dilakukan oleh pemerintahan atau koporasi yang efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik.
Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Gerakan reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan ketatanegaraan yang didasarkan pada pemerintahan yang demokratis dan berlandaskan hukum (rule of law). Sebelum reformasi, praktik pemerintahan cenderung diwarnai praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kondisi tersebut membuat masyarakat tidak percaya pada aparat pemerintah, sehingga untuk memperbaki citra pemerintahan, mutlak diperlukan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance) melalui upaya penegakan asas-asas pemerintahan yang baik dan penegakan hukum.
Dalam rangka menegakkan pemerintahan yang baik dan upaya meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat, maka diperlukan keberadaan lembaga pengawas yang secara efektif mampu mengontrol penyelenggaraan tugas aparat penyelenggara negara. Selama ini, pengawasan secara internal dinilai kurang memenuhi harapan masyarakat dari sisi obyektifitas dan akuntabilitas. Sehingga, dibutuhkan lembaga pengawas eksternal agar mekanisme pengawasan pemerintahan bisa diperkuat dam berjalan secara lebih efektif untuk mewujudkan birokrasi yang bersih, transparan dan responsif terhadap kebutuhan publik. Oleh sebab itu maka dibentuk Lembaga Ombudsman.
Ombudsman merupakan suatu lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
1.2.       Rumusan Masalah
1.      Dasar Hukum Ombudsman
2.      Tugas dan Wewenang yang sudah diselesaikan dalam sengketa publik




BAB II
PEMBAHASAN

2.1.      Dasar Hukum Ombudsman
Adapun Undang – Undang yang menjadi dasar hukum dari Ombudsman yaitu:
1.   Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
2.   Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
3.    Peraturan Ombudsman Republik Indonesia No. 002 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan.
4.   Pasal 20 dan pasal 21 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.

2.2.      Tugas Dan Wewenang Yang Sudah Diselesaikan Dalam Sengketa Publik
Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.
Terkait dengan tugas, Ombudsman mempunyai tugas sebagai berikut :
a.       Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
b.      Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;
c.       Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
d.      Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
e.       Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;
f.       Membangun jaringan kerja;
g.      Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
h.      Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.
Dalam menjalankan fungsi dan tugas, Ombudsman berwenang:
a.       Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
b.      Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan;
c.       Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor;
d.      Melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan;
e.       Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
f.       Membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
g.      Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi.
Selain itu, Ombudsman berwenang:
1.       Menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik;

2.      Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi.
Melihat fungsi, tugas dan wewenang Ombudsman tersebut, jelaslah bahwa pembentukan Ombudsman terutama untuk membantu upaya pemerintah dalam mengawasi jalannya proses pemerintahan. Dengan tujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik yang menerapkan prinsip-prinsip good governance, bersih dari KKN dan meningkatkan pelayanan umum (public service). Terlihat juga bahwa Ombudsman dibentuk untuk memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pengawasan pemerintah. Aspek partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dapat lebih terjamin melalui mekanisme Ombudsman. Sehingga, partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, dapat dilaksanakan secara optimal.
   Adapun kasus - kasus yang masuk pada Lembaga Ombudsman dapat dilihat pada persentase dibawah ini:
No
Instansi Pemerintah
Jumlah Kasus
Persentase (%)
1.
Kepolisian
160
28,93%
2.
Pemerintah Daerah
138
24,95%
3.
Lembaga Peradilan
72
13,02%
4.
Kejaksaan
40
7,23%
5.
Instansi Pemerintah (Kementerian & Departemen

33
5,97%
6.
Badan Pertanahan Nasional

32
5,79%
7.
BUMN/BUMD
28
5,06%
8.
Lembaga Pemerintah Non Departemen
14
2,53%
9.
Perguruan Tinggi Negeri
7
1,27%
10.
DPR
5
0,90%
11.
Perbankan
4
0,72%
12.
Komisi Negara
3
0,54%
13.
Badan Pemeriksa Keuangan
2
0,36%
14.
Lain-lain
15
2,71%
JUMLAH
553
100%
    Sumber : Ombudsman RI, dimuat di Suara Ombudsman Nomor 3 Tahun 2008

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa instansi yang terbanyak dilaporkan masyarakat hingga periode triwulan III tahun 2008 adalah Kepolisian, yaitu sejumlah 160 laporan (28,93%). Disusul oleh instansi Pemerintahan Daerah sebanyak 138 laporan (24,95%), dan lembaga-lembaga Negara yang lain.
Dari data pengaduan masyarakat atas kinerja instansi pemerintahan tersebut sebagaimana disebutkan, terdapat beberapa kejanggalan tentang dari sekian banyak permasalahan apakah semua dapat diselesaikan Ombudsman dan bentuknya penyelesaiannya berupa apa?. Hal ini tentunya diperkuat dengan pendapat Prof. Philipus Hadjon, SH pada bahan kuliah magister hukum Universitas Airlangga menyebutkan bahwa “misi Ombudsman adalah untuk membangkitkan keluhan-keluhan terhadap administrasi pemerintah, untuk menggunakan kekuasaannya yang luas dalam penyelidikan untuk melaksanakan pemeriksaan administrasi pasca keputusan, untuk membuat pertimbangan yang mengkritik atau membela administrator, dan untuk melaporkan secara umum penemuan-penemuannya dan rekomendasinya tetapi tidak untuk merubah keputusan administrasi.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tindakan-tindakan Ombudsman hanya merupakan tindakan yang hanya memberikan saran agar instansi terlapor dapat memperbaiki dan jangan mengulangi kecerobohan tersebut. Tapi misal terdapat laporan masyarakat yang menghendaki adanya pembatalan keputusan tidak mungkin dilakukan Ombudsman.



III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
            Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tindakan-tindakan Ombudsman hanya merupakan tindakan yang hanya memberikan saran agar instansi terlapor dapat memperbaiki dan jangan mengulangi kecerobohan tersebut. Tapi misal terdapat laporan masyarakat yang menghendaki adanya pembatalan keputusan tidak mungkin dilakukan Ombudsman.
Efektifitas Ombudsman sangat ditentukan oleh pelapor dan juga intitusi yang dilaporkan. Tanpa adanya dorongan pelapor melalui laporan yang kompeten, konkrit, jelas disertai data pendukung serta niat baik institusi terlapor (untuk menindaklanjuti laporan) tentu tidak akan menghasilkan apapun.
Sementara itu Ombudsman harus bekerja lebih keras agar masyarakat semakin merasakan manfaat Ombudsman sebagai salah satu tempat untuk dapat menyelesaikan permasalahan pemberian pelayanan, penyimpangan serta ketidakadilan yang dilakukan oleh aparatur Negara.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Ombudsman Republik Indonesia. Wikipedia Indonesia. . Di akses pada Tanggal 3 April 2011.

Anonim. 2011. Undang-Undang Pelayanan Publik. Wikipedia Indonesia. . Di akses pada Tanggal 3 April 2011.

Madril, Oce. 2010. Ombudsman dan Pengawasan Terhadap Aparatur Negara Pasca Reformasi. http://io.ppijepang.org/v2/index.php?option :ombudsman-dan-pengawasan-terhadap-aparatur-negara-pasca-reformasi. Di akses pada Tanggal 3 April 2011.

Makhfud, Muhammad. 2010. Peran Ombudsman Republik Indonesia, http://www.ombudsman (penyelesaian sengketa pub)/Perkembangan Hukum Pemerintahan.htm. Di akses pada Tanggal 3 April 2011.

Ombudsman Republik Indonesia. 2011. Maklumat Pelayanan Ombudsman Repubuk Indonesia. http://www.ombudsman.go.id/file-uploads/2009/09/09/maklumatpelayananori__20091129153747__290__0.pdf. Di akses pada Tanggal 3 April 2011